Jumat, 11 September 2015

Kunci Kebagahiaan itu hanya ada 2 (pilih salah satu)

(1) Punya banyak keinginan, dan dengan segala potensi yang dimiliki mampu memenuhinya dengan cepat.


(2) Punya banyak keinginan, tetapi hanya fokusnya pada sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhan.




Intinya: Jika otak memberikan signal-signal kuat tentang daftar keinginan yang harus dipenuhi, maka hati harus segera merespon dan mengelolanya, kemudian menyederhanakannya dan memunculkan data-data tentang sesuatu yang benar-benar dibutuhkan.

Gelas Berisi Air


Banyak sekali tema tentang filosofi gelas setengah penuh, atau gelas setengah kosong yang di bahas di beberapa artikel dan media on line. Kali ini saya akan menghadirkan sudut pandang yang berbeda dari tema tersebut.

Fokus pada gambar di atas, sengaja saya isi dengan 60% air. Apakah kondisi gelas tersebut setengah penuh? Atau setengah kosong? Mungkin jawaban tepatnya secara matematis adalah gelas tersebut 60% berisi air, sedangkan sisanya sekitar 40% berisi udara. Tapi jawaban itupun tidak sepenuhnya benar, karena dalam airpun bisa jadi terdapat kandungan udara. Baiklah lupakan seberapa banyak airnya, kita fokus pada gelas diatas setengahnya berisi air.

Mereka yang menyebutnya sebagai gelas setengah penuh berarti adalah pribadi yang optimis dan bersyukur, karena mereka melihat dari sudut pandang penuhnya bukan dari kurangnya. Namun menurut saya jika ada yang berpendapat gelas tersebut setengah kosong bukan berarti mereka golongan orang yang pesimis. Bahkan menurut saya tidak ada kaitan antara filosofi gelas setengah penuh, atau setengah kosong ini dengan optimis atau tidak.

Bisa jadi mereka yang menyebutnya sebagai gelas setengah kosong punya pendapat bahwa mereka melihat dari kurangnya. Dari kekurangan itu mereka akan terpicu semangatnya untuk bisa membuatnya penuh. Dengan cara pandang yang demikian berarti mereka yang mengatakan gelas setengah kosong juga bisa disebut orang yang optimis, malah menurut saya sangat optimis.
Selain optimis, golongan ini juga mereka yang rendah hati karena mau mengakui bahwa gelasnya setengah kosong. Jadi mereka mau menerima masukan dan hal-hal baru demi kebaikan dan kemajuan yang ingin mereka capai.

Inti dari pembahasan saya kali ini hanya ingin membuka sudut pandang lain tentang tema tersebut. Jika penulis lain punya pandangan yang berbeda tentang hal tersebut sah-sah saja. Karena menurut saya perbedaaan adalah sebuah keberagaman yang indah. Perbedaan tidak perlu menjadi bahan pemicu perdebatan, perbedaan yang dikelola baik malah bisa menjalin keselarasan dengan saling melengkapi.


PRIORITY

Senin, 07 September 2015

Seperti sedang tersesat entah dimana

Mobil cepet terdampar di jalan rusak yang mirip makadam -John Loudon McAdam (1756 - 1836)- itu rasanya seperti tersesat.

Beberapa minggu yang lalu saya ada perjalanan ke daerah kejayan, pasuruan dengan tujuan mengantar paket spare part untuk sebuah pabrik minuman di sana. Berangkat dari malang masih pagi, dan setelah mengantar paket tepat siang hari. Dari kejayan bermaksud langsung ke Surabaya, coba-coba nyalakan gps bermaksud mencari jalan pintas yang tembus ke pasar Sukorejo. Sama si cewe penunggu gps, saya diarahkan belok kanan setelah beberapa km balik dari arah Kejayan.

Jalan yang saya lalui adalah jalan desa, ada beberapa lubang jalan ringan tapi masih bisa dihindari. Sepanjang jalan itu saya hanya berpapasan dengan beberapa mobil pribadi dan truck kecil (Colt Diesel) selebihnya hanya motor. Perjalanan cukup lancer melewati desa-desa dan hamparan sawah hijau, tapi beberapa saat setelah itu signal gps mulai putus. Dari situ arah navigasi saya sudah seperti ‘kapal bambu’ dan tidak lagi bisa mengandalkan GPS.


Tambah panic ketika jalan aspal yang awalnya layak tiba-tiba putus dan berubah menjadi jalan penuh lubang di kanan kiri. Dengan semangat yang tersisa aku terus maju meskipun hanya merambat pelan karena mobil ceper ini sebenarnya sudah dalam taraf tersesat jika harus terus berlama lama di jalan yang hamper mirip makadam ini. Kesabaranku berbuah hasil, setelah kurang lebih 2km akhirnya ketemu dengan jalan aspal baru. Aspal baru di pedesaan yang masih dipenuhi dengan pasir dan kerikil kecil tapi sudah lebih baik.


Dengan maksud ingin cepat sampai akhirnya aku pacu mobil kecil itu dengan kecepatan 50-60kpj. Sampailah dipersimpangan jalan entah menuju ke mana, dan akhirnya dari hasil tanya-tanya sok akrab sama bapak-bapak yang nongkrong di warung kopi kuputuskan untuk memilih belok kiri. Jalan itu sangat sempit, meskipun aspalnya relative mulus tapi harus bergantian jika berpapasan dengan kendaraan lain. Setelah beberapa km dari persimpangan tiba-tiba suasana hati merasa aneh. Jalannya kembali putus, banyak lubang di kanan kiri yang semakin tak beraturan. Mobil ceper ini kembali tersesat di pedalaman antah barantah. Mau putar balik tidak memungkinkan karena jalannya sempit. Jangankan putar balik ,mau berhenti pun kondisinya kurang aman (apa mungkin hanya perasaanku saja) Kanan kiri hanya ladang kering yang ditanami singkong. Sepi tidak ada kendaraan lain yang melintas.

Tidak ada pilihan lain kecuali terus maju, maju semester demi semester sambil terus waspada somoga gak ada masalah sama ban dan kolong gak sampai mentok. Akan sangat sayang jika sampai mentok ke bebatuan yang keras itu. Terkadang harus bejalan zig zag hanya untuk mencari permukaan yang agak rata dan menghindari kolong dari benturan benda keras. Lebih parah lagi jalannya menanjak, sesekali mobil FWD ini terasa slip roda depannya. Perasaan tambah gak karuan karena indicator bahan bakar mulai berkedip pertanda bensin di tangki tinggal seiprit. Tak tau masih berapa jauh jarak kedepan sampai di lalan aspal terdekat karena GPS sudah dari tadi mati.
Maksud hati ingin cari jalan pintas tapi malah terkendala jalan putus. Mungkin bukan salah jalannya, tapi mobilnya saja yang tidak cocok. Jalan seperti ini sebenarnya sering saya temui dalam perjalanan adventure di jawa maupun di sumatera. Tapi biasanya monbil yang saya gnakan adalam mobil standar (bukan ceper) atau sering juga pake SUV untuk adventure jarak jauh hanya untuk mengantisipasi kondisi jalur yang kadang sulit diprediksi. Pernah juga melintasi jalan berlumpur di musim hujan yang sewaktu waktu bisa berubah menjadi parit yang digenangi air penggunakan SJ410. Atau turun di lautan pasir kawasan Bromo menggunakan APV GX standar melintas dari Poncokusumo menuju Probolinggo.


Setelah berjuang entah berapa lama akhirnya saya sampai di jalan aspal mulus. GPS juga sudah mulai mendapatkan asupan signal yang bisa mengakses satelit. Ternyata itu adalah jalan yang ke kanan menuju Bangil, dan ke kiri menuju pasar Sukorejo. Setelah beberapa menit melaju dengan kecepatan 60-70kpj sampailah saya di pasar Sukorejo. Alhamdulillah bisa keluar dari ketersesatan dengan selamat dan kondisi mobil juga baik-baik saja, paling hanya permukaan ban yang agak grepes kena bebatuan. Langsung saja cari SPBU terdekat buat kasi minum mobil kecil ini agar tidak mati akibat dehidrasi.  Selanjutnya tinggal meluncur santai menuju kota Surabaya.